Sabtu, 21 April 2012

Busana Tradisional Madura






Lelaki Madura mengenakan baju lorek dan udeng kain


Meskipun Madura adalah sebuah pulau yang terpisah dari Pulau Jawa, kebudayaan Jawa dalam arti luas berpengaruh sangat besar dalam berbagai segi kehidupan masyarakat sukubangsa Madura. Oleh karena kebudayaan Madura termasuk dalam daerah kebudayaan Jawa, maka jenis dan bentuk busananya pun memiliki beberapa kesamaan dengan busana dari daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Secara umum masyarakat sukubangsa Madura mengenal perbedaan busana berdasarkan usia, jenis kelamin, status sosial maupun kegunaannya, baik sebagai busana sehari-hari maupun untuk keperluan upacara.

Masyarakat umum mengenal pakaian khas Madura, yaitu hitam serba longgar dengan kaos bergaris merah putih atau merah hitam, di dalamnya, lengkap dengan tutup kepala dan kain sarung. Sebenarnya, pakaian yang terdiri dari baju pesa`an dan celana gomboran ini merupakan pakaian pria untuk rakyat kebanyakan, baik sebagai busana sehari-hari maupun sebagai busana resmi. Adanya pengaruh cara berpakaian pelaut dari Eropa, terutama kaos bergaris yang digunakan.

Dalam penggunaannya, baju pesa`an, celana gomboran dan kaos oblong ini memiliki perbedaan fungsi bila dilihat dari cara memakainya. Kalangan pedagang kecil, seringkali mempergunakan baju pesa`an dan kaos oblong warna putih, dipadu dengan sarung motif kotak-kotak biasa. Sebaliknya para nelayan, umumnya hanya menggunkan celana gomboran dengan kaos oblong.

Jaman dahulu, masyarakat mengenal baju pesa`an dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Baju pesa`an biasanya dipakai oleh guru agama atau molang. Pada masa sekarang, baju pesa`an warna hitamlah yang menjadi ciri khas. Warna hitam ini melambangkan keberanian. Sikap gagah dan pantang mundur ini merupakan salah satu etos budaya yang dimiliki masyarakat Madura. Garis-garis tegas merah, putih atau hitam yang terdapat pada kaos yang digunakan pun memperhatikan sikap tegas serta semangat juang yang sangat kuat, dalam menghadapi segala hal.

Bentuk baju yang serba longgar dan pemakaiannya yang terbuka melambangkan sifat kebebasan dan keterbukaan orang Madura. Kesederhanaan bentuk baju ini pun menunjukkan kesederhanaan masyarakatnya, teguh dan keras. Sarung palekat kotak-kotak dengan warna menyolok dan sabuk katemang, ikat pinggang kulit lebar dengan kantong penghimpun uang di depannya adalah perlengkapan lainnya. Terompah atau tropa merupakan alas kaki yang umumnya dipakai.

Berbeda dengan rakyat kebanyakan, kalangan bangsawan biasanya menggunakan rasughan totop (jas tutup) polos dengan samper kembeng (kain panjang) di bagian bawah, secara umum sebagaimana busana Solo dan Yogya. Perbedaannya adalah pada odheng, tutup kepala yang dikenakan. Untuk sehari-hari odheng yang digunakan adalah odheng peredhan dengan motif storjan, bera` songay atau toh biru. Perlengkapan busana seperti sap osap (sapu tangan), jam saku, jepit kain, stagen, sabuk katemang, dan perhiasan lainnya terutama selok (seser) atau cincin geleng akar (gelang dari akar bahar). Arloji rantai acap digunakan. Sebum dhungket atau tongkat, termasuk kelengkapan pakaian yang membedakan penampilan dan kewibawaan seorang bangsawan dengan rakyat biasa.

Jenis Odheng (Udeng) mulai dari yang kain hingga Odheng jadi


Pada saat menghadiri acara resmi, rasughan totop umumnya berwarna hitam digunakan lengkap dengan odheng tongkosan kota, bermotif modang, dulcendul, garik atau jingga. Odheng pada masyarakat Madura memiliki arti simbolis yang cukup kompleks, baik dari ukuran, motif maupun cara pemakaian. Ukuran odheng tongkosan yang lebih kecil dari kepala, sehingga membuat si pemakai harus sedikit mendongak ke atas agar odheng tetap dapat bertengger di atas kepalanya, mengandung makna “betapapun beratnya beban tugas yang harus dipikul hendaknya diterima dengan lapangan dada”.

Bentuk dan cara memakai odheng juga menunjukkan derajat kebangsawanan seseorang. Semakin tegak kelopak odheng tongkosan, semakin tinggi dewajat kebangsawananan. Semakin miring kelopaknya, maka derajat kebangsawanan semakin rendah. Untuk orang yang sudah sepuh (tua), sayap atau ujung kain dipilin dan tetap terbeber bila si pemakai masih relatif muda. Ikatan odheng juga memiliki arti tertentu. Pada odheng peredhan, pelintiran ujung simpul bagian belakang yang tegak lurus melambangkan huruf alif, yaitu huruf awal dalam bahasa Arab. Sementara itu, pada odheng tongkosan kota, simpul mati di bagian belakang dibentuk menyerupai huruf lam alif, yang merupakan simbol dari kalimat pengakuan akan keesaan Allah (Laa illaahaillallaah).

Kaum wanita Madura umumnya mengenakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari maupun pada acara resmi. Kebaya tanpa kutu baru atau kebaya rancongan digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Ciri khas kebaya Madura adalah penggunaan kutang polos dengan warna-warna menyolok seperti merah, hijau atau biru terang yang kontras dengan warna dan bahan kebaya yang tipis tembus pandang atau menerawang. Kutang ini ukurannya ketat pas badan. Panjang kutang dengan bukaan depan ini ada yang pendek dan ada pula yang sampai perut.

Keindahan lekuk tubuh si pemakai akan tampak jelas dengan bentuk kebaya rancongan dengan kutang pas badan ini. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan nilai budaya yang hidup di kalangan wanita Madura, yang sangat menghargai keindahan tubuh. Ramuan jamu-jamu Madura diberikan semenjak seorang gadis cilik hendak berangkat remaja. Demikian pula berbagai pantangan makanan yang tidak boleh dilanggar, serta pemakaian penggel. Semuanya dimaksudkan untuk membentuk tubuh yang indah dan padat.

Gambaran busana pria madura dan wanita madura
Pilihan warna yang kuat dan menyolok pada masyarakat Madura menunjukkan karakter mereka yang tidak pernah ragu-ragu dalam bertindak, pemberani, serta bersifat terbuka dan terus terang. Oleh karenaitu mereka tidak mengenal warna-warna lembut. Termasuk dalam memilih warna pakaian maupun aksesoris lainnya.

Kebaya dengan panjang tepat di atas pinggang dengan bagian depan berbentuk runcing menyerong khas roncongan Madura, umumnya digunakan bersama sarung batik motif tumpal, namun ada pula yang memakai kain panjang dengan motif tabiruan, storjan atau lasem. Warna dasarnya putih dengan motif didominasi warna merah. Untuk penguat kain digunakan odhet. Odhet adalah semacam stagen Jawa, terbuat dari tenunan bermotif polos, dengan ukuran lebar 15 cm dan panjang sekitar 1,5 meter. Warna biasanya merah, kuning atau hitam. Pada odhet terdapat ponjin atau kempelan, yaitu saku untuk menyimpan uang atau benda berharga lainnya. Alas kaki yang digunakan adalah sandal jepit.

Perhiasan yang dikenakan oleh wanita Madura, mulai dari kepala sampai kaki, juga memiliki daya tarik yang unik. Sebagaimana senjata bagi laki-laki Madura, perhiasanpun menjadi pelengkap yang utama bagi busana kaum wanitanya. Hiasan rambut berupa cucuk sisir dan cucuk dinar, keduanya terbuat dari emas. Bentuknya seperti busur. Cucuk sisir biasanya terdiri dari untaian mata uang emas atau uang talenan dan ukonan. Jumlah untaian mata uang ini tergantung kemampuan si pemakai.

Adapun cucuk dinar, terdiri dari beberapa keping mata uang dollar. Rambut wanita Madura itu sendiri, biasanya disisir ke belakang, kemudian digelung sendhal. Bentuknya agak bulat dan penuh, padat dengan kuncir sisa rambut yang terletak tepat di tengah-tengah rambut. Letak sanggul umumnya agak tinggi. Sementara di daerah Madura Timur, bentuknya agak lonjong dan pipih letaknyapun miring. Hampir sama dengan gelung wanita Bali. Harnal bubut dari emas, bermata selong dengan panjang sekitaar 12 cm berukuran agak lebih besar dari harnal pada umumnya juga dipakai untuk menghiasi rambut. Sebuah tutup kepala, yang terbuat dari handul besar atau kain tebal disebut leng o leng, menjadi ciri tersendiri pada kelengkapan wanita Madura. Perhiasan lain yang umumnya dikenakan sebagai kelengkapan busana adalah anteng atau shentar penthol yang terbuat dari emas, bermotif polos dengan berbentuk bulat utuh sebesar biji jagung. Anteng atau anting ini dikenakan di telinga.

Motif hiasan kalung Madurapun terkenal karena ciri khasnya. Kalung brondong yang berupa rentangan emas berbentuk biji jagung adalah kalung khas Madura yang biasanya dikenakan bersama liontin. Liontin atau bandul yang digunakan biasanya berbentuk mata uang dollar (dinar) atau bunga matahari. Selain itu masih ada motif pale obi yang menyerupai batang ubi melintir, serta motif mon temon berupa untaian emas berbentuk biji mentimun. Berat kalung itu rata-rata 5-10 gram, namun adapula yang mencapai 100 gram, bahkan lebih. Tergantung kemampuan si pemakai. Sepasang gelang emas di tangan kanan dan kiri dengan motif tebu saeres. berbentuk seperti keratan tebu merupakan kelengkapan lain yang sering dipakai. Sementara sepasang cincin dengan motif yang sama dengan gelang dikenakan sebagai hiasan jari.

Sebagai pelengkap kebaya rancongan, digunakan peniti dinar renteng, terbuat dari emas dan bermotif polos. Semakin banyak jumlah dinarnya, semakin panjang untaiannya berarti semakin tinggi kemampuan ekonomi pemakainya.

Dari seluruh jenis perhiasan yang biasa dikenakan wanita Madura, penggel adalah salah satu yang paling unik. Penggel merupakan hiasan kaki dari emas atau perak yang dipakai pada pergelangan kaki kiri dan kanan. Penggel adalah simbol kebanggaan wanita Madura. Selain fungsi ekonomi yang juga dapat menunjukkan status ekonomi si pemakai, penggel juga berfungsi untuk membentuk keindahan tubuh wanita Madura. Gelang kaki yang terbuat dari emas atau perak, dengan berat perak ada yang mencapai 3 kg, aapabila digunakan untuk berjalan dan melakukan aktivitas sehari-hari tentunya akan menguatkan otot-otot tertentu.

Berbeda dengan yang dikenakan rakyat kebanyakan, wanita bangsawan tidak menonjolkan kekayaannya melalui bentukbentuk perhiasan yang menyolok dan cenderung berat. Bentuk perhiasan yang digunakan untuk rambut, telinga, leher, tangan dan kaki umumnya kecil. Namun, lebih banyak dihiasi intan atau berlian.

Untuk acara resmi wanita bangsawan Madura mengenakan kebaya panjang dengan kain batik tulis Jawa atau khas Madura. Alas kakinya berupa selop tutup. Bahan kebaya biasanya beludru. Warna gelap dan tidak bermotif. Ujung bawah kebaya berbentuk bulat. Peniti cecek atau pako malang adalah hiasan kebaya berbentuk paku yang melintang bersusun tiga dan dihubungkan dengan rantai emas.

Rambut wanita muda digelung malang. Bentuknya seperti angka delapan melintang yang melambangkan tulisan Allah. di dalamnya diberi potongan daun pandan sebagai penguat. Untuk wanita yang sudah berumur dan berpangkat, digunakan gelung mager sereh. Bentuknya sama dengan gelung malang, tetapi semua ukelnya diisi kembang tanjung dan kembang pandan. Hiasan rambut terdiri dari cucuk emas dengan motif ular atau bunga matahari, dilengkapi dengan karang melok dan duwek remek, yaitu hiasan dari bunga-bungaan.

Giwang kerambu dan kalung rantai berliontin markis yang terbuat dari emas bertaburan berlian juga dikenakan. Demikian pula gelang tangan dan hiasan jari berupa cincin emas bermata berlian.
Selain busana dan perhiasan khas wanita Madura, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa, tatarias wajah wanita Madura pun cukup unik. Wajah dihiasi dengan jimpit di bagian kening kanan, kiri atau dahi. Tempat yang dijimpit disebut leng pelengan. Dahulu leng pelengan dibuat dengan cubitan tangan. Saat ini, kebanyakan berupan olesan alat kosmetik berupa garis membujur sekitar 1-2 cm dan berwarna merah. Mata dihiasi dengan celak Arab, sedangkan gigi dihiasi dengan apa egan, berupa lapisan gigi yang terbuat dari emas atau platina.

Menarik bukan?

by: Endang Mariani